Pages

ALTERNATIF SANKSI BAGI KORUPTOR KELAS KAKAP

Senin, 01 Desember 2014
1.      Pengertian Korupsi
Menurutwikipedia, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruption,” sementara dalam bentuk kata kerjanya “corrumpere,” yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, dan menyogok. Adapun menurut istilah, korupsi adalah perilaku para pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki sekaligus dipercayakan kepada mereka.
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguaraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.
Dalam bahasa Arab, korupsi disebut juga dengan risywah, yang berarti penyuapan. Suap diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat pemerintah). Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suap (risywah) dipahami sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah, atau lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh keinginannya.
Jadi korupsi adalah perilaku pejabat atau pegawai negeri yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki sekaligus dipercayakan kepada mereka.
2.      Penyebab Korupsi
Membaca data mengenai praktik korupsi di negara ini, kita sudah pasti trenyuh dan mengelus dada. Betapa tidak, bangsa kita yang sejak bertahun-tahun dikenal begitu religius ternyata saat ini sebagian besar menjadi koruptor. Pertanyaan yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi? Apa yang memicu terjadinya praktik korupsi?
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya tindak korupsi. Menurut penelitian Alatas (1983), korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan/ kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Sementara menurut Ainan (1982), praktik korupsi mendapat agin segar untuk terus berkembang pada sebuah negara dengan kondisi sebagai berikut:
a.       Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.      Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c.       Tradisi untuk meambah penghasilan yang kurang dari pejabat pemerintah dengan upeti atau suap.
d.      Sebuah keadaan dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e.       Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak dapat dihindarkan.
f.       Menurut budaya orang Nigeria suap dan korupsi tidak perlu ditolak, kecuali dianggap telah berlebihan harta dan kekayaan, dan
g.      Sebuah kondisi ketika orang tidak menghargai aturan-aturan resmi dan tujuan organisasi pemerintah, serta budaya dimana korupsi tidak perlu dipersoalkan.
Adapun beberapa sebab terjadinya kurupsi di Indonesia. Awalnya disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan motif mempertahamkan hidupnya. Akan tetapi kian lama motif ini kian bergeser menjadi motif ingin memperoleh kekayaan dan kemewahan hidup. Penyebab lainya adalah berupa kelemahan makanisme organisasi dan tidak dilaksanakanya fungsi pengawasan secara wajar. Menurut Baharuddin lopa, hal ini akan mendorong seseorang yang tidak mempunyai iman yang kuat akan melakukan tindakan korupsi.[1]
Beberapa faktor lainya adalah berupa penegakan hukum yang tidak konsisten, penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, langkahnya lingkungan yang antikorup, rendahnya pendapatan penyelenggaraan negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi upeti, imbalan dan hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan kurupsi serta gagalnya pendidikan agama dan etika.[2]
3.      Hukuman Bagi Koruptor
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((
مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barang siapa diantara kalian kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta korupsi) yang akan dibawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan. Nabi SAW bertanya: “ada apakah gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”[3]

Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam kitabullah maupun hadits-hadits nabi SAW. seperti yang tertera dalam Q.S. Ali-Imron:161;
$tBur tb%x. @cÓÉ<oYÏ9 br& ¨@äótƒ 4 `tBur ö@è=øótƒ ÏNù'tƒ $yJÎ/ ¨@xî tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 4 §NèO 4¯ûuqè? @à2 <§øÿtR $¨B ôMt6|¡x. öNèdur Ÿw tbqßJn=ôàムÇÊÏÊÈ  
161. tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.
Dalam fiqh jinayah, memang tidak ada nash yang secara khusus mencatat dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Islam mengkaitkan perbuatan korupsi ini diidentifikasi dengan beragam bentuknya seperti ghulul (penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil hak secara paksa), khiyanat (pengkhianatan), dan sariqah (pencurian). Ketentuan perbuatan-perbuatan tersebut, kecuali sariqah, tidaklah termasuk dalam hukuman hudud, sehingga hukuman akan diganti dengan hukuman ta’zir. Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan (dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
Sanksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu, kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil, kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik yang lebih tegas untuk mengatasinya.
Adapun hukuman bagi koruptor menurut kitab Al-Umm, diriwayatkan[4]:
“saya bertanya kepada Asy-Syafi’i: “apa pendapat anda akan orang Islam yang merdeka atau budak yang berperang atau orang dzimmi atau orang diberi pengamanan, yang mengambil dengan secara ghulul akan sesuatu dari harta rampasan perang, sebelum harta itu dibagi-bagikan?”
Lalu beliau menjawab: “orang itu tidak dipotong tangannya dan masing-masing dari mereka itu membayar nilai harga apa yang dicurinya, kalau sudah rusak yang diambilnya, sebelum ia membayar. Walaupun mereka itu orang-orang bodoh yang sudah mengetahui. Dan mereka tidak dihukum dengan hukuman siksa. Kalau mereka mengulangi lagi, maka mereka dihukum siksa”.
Lalu saya bertanya lagi kepada Asy-Syafi’i: “adakah ia disuruh berjalan kaki dari binatang kendaraannya, dibakar pelananya atau dibakar harta bendanya?”.
Asy-Syafi’i menjawab: “tidak dihukum siksa seseorang pada hartanya. Sesungguhnya orang dihukum siksa pada badannya. Sesungguhnya Allah menetapkan hukuman hadd atas badan. Seperti demikian hukuman siksa. Adapun atas harta maka tiada siksaan atas harta itu”.
Hukuman bagi pelaku korupsi dalam perundangan-undangan Indonesia telah diatur secara jelas dan lengkap, yakni dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan lain-lain, akan dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam ketentuan khususnya, apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi negara, seperti terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi, maka dapat diancam hukuman mati.
Hukuman bagi pelaku suap dapat dikerat Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Sedangkan hukuman penggelapan dapat dijerat Pasal 8 undang-undang tersebut dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Apabila pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugasi menjalankan jabatan umum melakukan pemalsuan administrasi pembukuan maka dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Hingga pada perbuatan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, dengan ketentuan yakni nominal uang korupsinya mencapai Rp.10.000.000,- maka diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
Adapun sanksi- sanksi ta’zir yang lainnya diantaranya adalah sebagai berikut:
·         Peringatan keras dan dihadirkan dihadapan sidang.
Peringatan ini dapat dilakukan dirumah atau dipanggil kesidang pengadilan. Gambaran tentang peringatan keras ini seperti diucapkan hakim kepada pelaku jarimah: “telah sampai kepadaku bahwa kamu melakukan kejahatan... oleh karena itu jangan kau lakukan lagi hal itu”. Peringatan ini dilakukan oleh utusan pengadilan atau oleh hakim dihapan sidang dengan muka masam.[6]
·         Dicela
Meskipun para ulama menyebutkan bahwa celaan ini bisa didalam atau diluar persidangan, akan tetapi tampaknya yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
Sanksi ini dan dan sanksi peringatan keras diatas pada umumnya dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan maksiat karena kekurangmampuannya mengendalikan diri, bukan karena kebiasaannya melakukan kejahatan, jadi ia hanya tergelincir saja dan tidak sering terjadi.
·         Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarangnya masyarakat berhubungan dengannya.
Sanksi ta’zir yang berupa pengucilan ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat tertentu. Dalam suatu sistem masyarakat yang terbuka susah sekali hukuman ini dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakat yang demikian saling tidak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi pengucilan dalam arti tidak diikut sertakan dalam suatu kegiatan kemasyarakatan mungkin saja terlaksana dengan efektif.
·         Pemecatan dari Jabatan
Yang dimaksud dengan pemecatan (al-‘azl) adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.
Sanksi ta’zir yang berupa pemberhatian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai yang melakukan jarimah, baik yang berkaitan dengan lainnya, seperti mengambil harta dari terdakwa dengan maksud untuk membebaskan.
·         Diumumkan Kejahatannya
Dalam madzab Syafi’i pengumuman ini juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-orang pasar tahu bahwa ia adalah pencuri.
Menurut fuqoha, sanksi ta’zir yang berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Jadi, sanksi ini diharapkan memilki daya represif dan preventif.
A.    KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas maka dapat disimpulkan yaitu:
korupsi adalah perilaku pejabat atau pegawai negeri yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki sekaligus dipercayakan kepada mereka,
 penyebab dari terjadinya tindakan korupsi yaitu disebabkan karena kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan motif mempertahamkan hidupnya.
B.     DAFTAR PUSTAKA



[1] Baharuddin Lopa, Masalah Kurupsi dan Pencegahanya, (Jakarta: PT Kipas Putih Aksara, 1997), hlm. 54.
[2] Eko Soesamto, Mengenali dan Memberantas Kurupsi, (Jakarta: KPK, tth), hlm. 23-24.
[3] Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.

[4] Ismail Yakub, terjemahan dari Al-Umm karangan Al-Imam –Asy –Syafi’i.R.A. Jakarta:Cv. Faizan. 1982. Hlm 458-459
[5] http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-pidana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-dan-hukum-positif-indonesia/
[6] A. Djazuli. 2000. Fiqih Jinayah. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada hlm 215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar