Menurutwikipedia, kata korupsi berasal dari bahasa latin yaitu “corruption,”
sementara dalam bentuk kata kerjanya “corrumpere,” yang bermakna busuk,
rusak, menggoyahkan, memutarbalikkan, dan menyogok. Adapun menurut istilah,
korupsi adalah perilaku para pejabat publik, baik politikus/ politisi maupun
pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya
mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dimiliki sekaligus dipercayakan kepada mereka.
Baharuddin
Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguaraikan arti istilah
korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang
berhubungan dengan manipulasi dibidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang
kepentingan umum.
Dalam bahasa Arab,
korupsi disebut juga dengan risywah, yang berarti penyuapan. Suap
diartikan sebagai hadiah, penghargaan, pemberian, atau keistimewaan yang
dianugerahkan atau dijanjikan dengan tujuan merusak pertimbangan atau tingkah
laku, terutama dari seseorang dalam kedudukan terpercaya (sebagai pejabat
pemerintah). Dalam kitab Hâsyiah Ibn ‘Abidin, suap (risywah) dipahami
sebagai sesuatu yang diberikan seseorang kepada hakim, pejabat pemerintah, atau
lainnya supaya orang itu mendapatkan kepastian hukum atau memperoleh
keinginannya.
Jadi korupsi adalah
perilaku pejabat atau pegawai negeri yang memperkaya diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang
dimiliki sekaligus dipercayakan kepada mereka.
2.
Penyebab Korupsi
Membaca
data mengenai praktik korupsi di negara ini, kita sudah pasti trenyuh dan
mengelus dada. Betapa tidak, bangsa kita yang sejak bertahun-tahun dikenal
begitu religius ternyata saat ini sebagian besar menjadi koruptor. Pertanyaan
yang muncul kemudian, apa yang menyebabkan seseorang melakukan korupsi? Apa
yang memicu terjadinya praktik korupsi?
Banyak
faktor yang menyebabkan terjadinya tindak korupsi. Menurut penelitian Alatas
(1983), korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan wewenang dan jabatan/
kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan pribadi
dengan mengatasnamakan pribadi dan atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Sementara
menurut Ainan (1982), praktik korupsi mendapat agin segar untuk terus
berkembang pada sebuah negara dengan kondisi sebagai berikut:
a.
Perumusan perundang-undangan yang kurang sempurna.
b.
Administrasi yang lamban, mahal, dan tidak luwes.
c.
Tradisi untuk meambah penghasilan yang kurang dari pejabat
pemerintah dengan upeti atau suap.
d.
Sebuah keadaan dimana berbagai macam korupsi dianggap biasa, tidak
dianggap bertentangan dengan moral, sehingga orang berlomba untuk korupsi.
e.
Di India, misalnya menyuap jarang dikutuk selama menyuap tidak
dapat dihindarkan.
f.
Menurut budaya orang Nigeria suap dan korupsi tidak perlu ditolak,
kecuali dianggap telah berlebihan harta dan kekayaan, dan
g.
Sebuah kondisi ketika orang tidak menghargai aturan-aturan resmi
dan tujuan organisasi pemerintah, serta budaya dimana korupsi tidak perlu
dipersoalkan.
Adapun beberapa sebab terjadinya kurupsi di Indonesia. Awalnya disebabkan
karena kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi
dengan motif mempertahamkan hidupnya. Akan tetapi kian lama motif ini kian
bergeser menjadi motif ingin memperoleh kekayaan dan kemewahan hidup. Penyebab
lainya adalah berupa kelemahan makanisme organisasi dan tidak dilaksanakanya
fungsi pengawasan secara wajar. Menurut Baharuddin lopa, hal ini akan mendorong
seseorang yang tidak mempunyai iman yang kuat akan melakukan tindakan korupsi.[1]
Beberapa faktor lainya adalah berupa penegakan hukum yang tidak konsisten,
penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang, langkahnya lingkungan yang antikorup, rendahnya
pendapatan penyelenggaraan negara, kemiskinan dan keserakahan, budaya memberi
upeti, imbalan dan hadiah, konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada
keuntungan kurupsi serta gagalnya pendidikan agama dan etika.[2]
3.
Hukuman Bagi Koruptor
Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan banyak
kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk membelanjakan sesuatu,
kemudian setelah dibelanjakan, uang yang diberikan pemiliknya masih tersisa,
tetapi dia tidak memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya
seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara memanipulasi
nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka tidak tanggung-tanggung yang
dia ‘embat’ sampai milyaran bahkan triliyunan.
Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku
pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
((مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولًا يَأْتِي بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ))، قَالَ: فَقَامَ إِلَيْهِ رَجُلٌ أَسْوَدُ مِنْ الْأَنْصَارِ كَأَنِّي أَنْظُرُ إِلَيْهِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ اقْبَلْ عَنِّي عَمَلَكَ، قَالَ: ((وَمَا لَكَ؟))، قَالَ: سَمِعْتُكَ تَقُولُ كَذَا وَكَذَا، قَالَ: ((وَأَنَا أَقُولُهُ الْآنَ، مَنْ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِيَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِيَ عَنْهُ انْتَهَى)).
“Barang siapa diantara kalian kami
tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami
sebatang jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta
korupsi) yang akan dibawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri
menghadap Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, lalu
dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang engkau tugaskan.
Nabi SAW bertanya: “ada apakah gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar
engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di atas, Pen.)."
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku katakan sekarang,
(bahwa) barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan
(urusan), maka hendaklah dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak.
Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) mengambilnya.
Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak boleh.”[3]
Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam kitabullah maupun hadits-hadits nabi SAW. seperti yang tertera dalam Q.S. Ali-Imron:161;
$tBur
tb%x.
@cÓÉ<oYÏ9
br&
¨@äót
4
`tBur
ö@è=øót
ÏNù't
$yJÎ/
¨@xî
tPöqt
ÏpyJ»uÉ)ø9$#
4
§NèO
4¯ûuqè?
@à2
<§øÿtR
$¨B
ôMt6|¡x.
öNèdur
w
tbqßJn=ôàã
ÇÊÏÊÈ
161. tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa
yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan
datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan
diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal,
sedang mereka tidak dianiaya.
Dalam fiqh jinayah, memang tidak ada nash yang secara khusus mencatat
dengan jelas sanksi dari perbuatan korupsi. Islam mengkaitkan perbuatan korupsi
ini diidentifikasi dengan beragam bentuknya seperti ghulul
(penggelapan), risywah (suap), ghasab (mengambil hak secara
paksa), khiyanat (pengkhianatan), dan sariqah (pencurian).
Ketentuan perbuatan-perbuatan tersebut, kecuali sariqah, tidaklah
termasuk dalam hukuman hudud, sehingga hukuman akan diganti dengan hukuman
ta’zir. Jenis-jenis hukum ta`zîr yang dapat diterapkan bagi pelaku korupsi
adalah; penjara, pukulan yang tidak menyebabkan luka, menampar, dipermalukan
(dengan kata-kata atau dengan mencukur rambutnya), diasingkan, dan hukuman
cambuk di bawah empat puluh kali. Khusus untuk hukuman penjara, Qulyûbî
berpendapat bahwa boleh menerapkan hukuman penjara terhadap pelaku maksiat yang
banyak memudharatkan orang lain dengan penjara sampai mati (seumur hidup).
Sanksi yang diterapkan terhadap tindakan ghulul pada zaman
Rasulullah saw lebih ditekankan pada sanksi moral. Pelaku ghulul akan
dipermalukan di hadapan Allah kelak pada hari kiamat. Dengan kata lain, bahwa
perbuatan ini tidaklah dikriminalkan, melainkan hanya dengan sanksi moral
dengan ancaman neraka sebagai sanksi ukhrawi. Ini lantaran pada saat itu,
kasus-kasus ghulul hanya merugikan dengan nominal yang sangat kecil,
kurang dari tiga dirham. Mungkin saja akan berbeda seandainya kasus ghulul
memakan kerugian jutaan hingga miliaran rupiah, pasti akan ada hukuman fisik
yang lebih tegas untuk mengatasinya.
Adapun hukuman bagi koruptor menurut kitab Al-Umm, diriwayatkan[4]:
“saya bertanya kepada Asy-Syafi’i: “apa pendapat anda akan orang Islam yang
merdeka atau budak yang berperang atau orang dzimmi atau orang diberi
pengamanan, yang mengambil dengan secara ghulul akan sesuatu dari harta
rampasan perang, sebelum harta itu dibagi-bagikan?”
Lalu beliau menjawab: “orang itu tidak dipotong tangannya dan masing-masing
dari mereka itu membayar nilai harga apa yang dicurinya, kalau sudah rusak yang
diambilnya, sebelum ia membayar. Walaupun mereka itu orang-orang bodoh yang
sudah mengetahui. Dan mereka tidak dihukum dengan hukuman siksa. Kalau mereka
mengulangi lagi, maka mereka dihukum siksa”.
Lalu saya bertanya lagi kepada Asy-Syafi’i: “adakah ia disuruh berjalan
kaki dari binatang kendaraannya, dibakar pelananya atau dibakar harta
bendanya?”.
Asy-Syafi’i menjawab: “tidak dihukum siksa seseorang pada hartanya.
Sesungguhnya orang dihukum siksa pada badannya. Sesungguhnya Allah menetapkan
hukuman hadd atas badan. Seperti demikian hukuman siksa. Adapun atas harta maka
tiada siksaan atas harta itu”.
Hukuman bagi pelaku korupsi dalam perundangan-undangan Indonesia telah
diatur secara jelas dan lengkap, yakni dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan
Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ancaman hukuman bagi pelakunya, baik itu suap, gratifikasi, dan lain-lain, akan
dikenakan hukuman penjara dan/atau denda. Bahkan dalam ketentuan khususnya,
apabila korupsi dilakukan dengan mengakibatkan bahaya bagi negara, seperti
terjadi bencana nasional atau pada saat negara dalam keadaan krisis ekonomi,
maka dapat diancam hukuman mati.
Hukuman bagi pelaku suap dapat dikerat Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1
(satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp.250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Sedangkan hukuman penggelapan dapat dijerat Pasal 8 undang-undang tersebut
dengan rincian hukuman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Apabila pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang ditugasi menjalankan
jabatan umum melakukan pemalsuan administrasi pembukuan maka dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Hingga pada perbuatan gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara, dengan ketentuan yakni nominal uang korupsinya mencapai Rp.10.000.000,-
maka diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda
paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).[5]
Adapun sanksi- sanksi ta’zir yang lainnya diantaranya adalah sebagai
berikut:
·
Peringatan
keras dan dihadirkan dihadapan sidang.
Peringatan ini dapat dilakukan
dirumah atau dipanggil kesidang pengadilan. Gambaran tentang peringatan keras
ini seperti diucapkan hakim kepada pelaku jarimah: “telah sampai kepadaku bahwa
kamu melakukan kejahatan... oleh karena itu jangan kau lakukan lagi hal itu”.
Peringatan ini dilakukan oleh utusan pengadilan atau oleh hakim dihapan sidang
dengan muka masam.[6]
·
Dicela
Meskipun para ulama menyebutkan
bahwa celaan ini bisa didalam atau diluar persidangan, akan tetapi tampaknya
yang lebih tepat adalah dilakukan didepan pengadilan.
Sanksi ini dan dan sanksi peringatan
keras diatas pada umumnya dijatuhkan terhadap orang-orang yang melakukan
maksiat karena kekurangmampuannya mengendalikan diri, bukan karena kebiasaannya
melakukan kejahatan, jadi ia hanya tergelincir saja dan tidak sering terjadi.
·
Pengucilan
Yang dimaksud dengan pengucilan
adalah larangan berhubungan dengan si pelaku jarimah dan melarangnya masyarakat
berhubungan dengannya.
Sanksi ta’zir yang berupa pengucilan
ini diberlakukan bila membawa kemaslahatan sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat tertentu. Dalam suatu sistem masyarakat yang terbuka susah sekali
hukuman ini dilaksanakan, sebab masing-masing anggota masyarakat yang demikian
saling tidak acuh terhadap anggota masyarakat lainnya. Akan tetapi pengucilan
dalam arti tidak diikut sertakan dalam suatu kegiatan kemasyarakatan mungkin
saja terlaksana dengan efektif.
·
Pemecatan
dari Jabatan
Yang dimaksud dengan pemecatan
(al-‘azl) adalah melarang seseorang dari suatu pekerjaan tertentu atau
menurunkan atau memberhentikannya dari suatu tugas atau jabatan tertentu.
Sanksi ta’zir yang berupa
pemberhatian dari tugas ini biasa diberlakukan terhadap setiap pegawai yang
melakukan jarimah, baik yang berkaitan dengan lainnya, seperti mengambil harta
dari terdakwa dengan maksud untuk membebaskan.
·
Diumumkan
Kejahatannya
Dalam madzab Syafi’i pengumuman ini
juga boleh dengan menyuruh pencuri keliling pasar orang-orang pasar tahu bahwa
ia adalah pencuri.
Menurut fuqoha, sanksi ta’zir yang
berupa pengumuman kejahatan itu dimaksudkan agar orang yang bersangkutan
menjadi jera dan agar orang lain tidak melakukan perbuatan serupa. Jadi, sanksi
ini diharapkan memilki daya represif dan preventif.
A.
KESIMPULAN
Dari
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan yaitu:
korupsi adalah perilaku
pejabat atau pegawai negeri yang memperkaya
diri dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dimiliki sekaligus
dipercayakan kepada mereka,
penyebab dari
terjadinya tindakan korupsi yaitu disebabkan karena
kondisi sosial ekonomi yang rawan sehingga orang melakukan korupsi dengan motif
mempertahamkan hidupnya.
B.
DAFTAR
PUSTAKA
[1] Baharuddin
Lopa, Masalah Kurupsi dan Pencegahanya, (Jakarta: PT Kipas Putih Aksara,
1997), hlm. 54.
[3] Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam kitab al
Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.
[4] Ismail Yakub,
terjemahan dari Al-Umm karangan Al-Imam –Asy –Syafi’i.R.A. Jakarta:Cv.
Faizan. 1982. Hlm 458-459
[5]
http://adelesmagicbox.wordpress.com/2012/03/27/tindak-pidana-korupsi-ditinjau-dari-fiqh-jinayah-dan-hukum-positif-indonesia/
[6] A. Djazuli.
2000. Fiqih Jinayah. Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada hlm 215
Tidak ada komentar:
Posting Komentar